Selasa, 10 November 2009

Perubahan Dahsyat

"Saya ingin berubah. Saya ingin sukses di dunia dan di akhirat. Saya ingin berubah, saya ingin kembali ke jalan Allah Swt. Saya ingin bertobat dengan sebenarnya. Saya ingin menjadi seorang hamba Allah yang dicintai-Nya. Saya ingin jadi seorang anak yang berbakti. Saya ingin menghabiskan sisa umur saya untuk beribadah, dakwah, dan mengabdi pada Islam dan kaum muslimin. Saya ingin habiskan sisa waktu saya di Mesir untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dengan mendatangi kuliah, majlis-majlis ilmu, membaca buku, menghafal al-Qur`an, hadits-hadits, bergaul erat dengan masyaikh."

"Saya ingin berubah, mau tunggu sampai kapan lagi, saya tidak tahu kapan dan dimana saya akan mati. Saya ingin berubah. Saya telah tertinggal jauh dari teman-teman saya."

"Saya yakin, sebenarnya saya bisa sukses, saya bisa meraih cumlaude. Saya bisa hafal al-Qur`an, menguasai bahasa arab dan berbagai ilmu agama. Saya harus berjuang keras melawan bisikan-bisikan hawa nafsu dan godaan-godaan setan. Itulah musuh yang sesungguhnya. Yang setiap saat, siang dan malam berusaha menjauhkan saya dari Allah Swt., dari amal soleh, dan berusaha menjadikan saya tertipu dan memandang indah perbuatan nista, jahat, dan kotor."

Itulah rangkaian kalimat yang diproklamirkan Hanif-nama samaran-, seorang sahabat dekat saya satu tahun yang lalu. Dan kalimat-kalimat itu ia tempelkan di dinding kamarnya, agar ia selalu melihat dan mengingatnya. Api semangat telah membakar jiwanya. ‘Baju’ kelalaian telah ia lepas paksa dari dirinya dan seketika baju itu ia ‘bakar’ dan buang ke ‘tempat sampah’.

Dua faktor yang menjadi penyebab perubahan Hanif adalah; pertama, kematian Ayah yang sangat dicintainya. Kedua, nilainya anjlok. Dua hal ini sangat membuat hati Hanif terpukul keras. Kematian ayah yang sangat dicintainya membuat hatinya seolah hancur berkeping dan harapannya seakan sirna. Hidupnya seakan tak lagi punya pegangan. Begitu juga dengan anjoloknya nilainya, ia seolah tak percaya, dirinya yang dulu selalu berkilau di puncak prestasi, kini tersungkur dalam 'kubangan' kegagalan.

Hanif anak pertama, ia adalah tulung punggung keluarga. Lima orang adik-adiknya masih dalam usia sekolah. Tak ada lagi yang lebih bisa diharapkan oleh Ibunya saat ini, kecuali dirinya. Kematian ayahnya telah menyadarkan dirinya yang selama ini telah tertidur panjang dan pulas di atas ranjang kelalaian.

“Bukan saatnya lagi untuk bersantai. Bukan waktunya memenuhi keinginan nafsu. Tugas dan kewajiban lebih banyak dari waktu yang dimiliki”, kata-kata itu tertempel di meja belajar Hanif.

Dan sejak saat itu Hanif berubah. Ia kembali bersemangat sebagaimana semangat yang pernah hidup dalam dirinya. Ia telah kembali menjadi Hanif yang dulu, yang dikenal rajin, taat, dan cerdas. Setelah sekian tahun terhanyut dalam arus kesia-siaan.

Tidak hanya kata-kata, tapi ia telah berubah total. Ia rajin hadir ke kuliah, duduk di bangku paling depan, dan aktif bertanya. Disamping itu, ia tidak menyia-nyiakan waktu sepulang kuliah untuk menimba ilmu dari para Syekh al-Azhar dalam forum-forum talaqi di mesjid al-Azhar dan di berbagai mesjid yang tersebar di seantero kota Kairo, sehingga hal itu terkadang membuatnya harus pulang larut malam.

Singkat kata, selama satu tahun itu saya tidak menemukan Hanif kecuali pada tiga tempat; di mesjid, di rumahnya dan di majlis ilmu. Di mesjid saya temukan dia sedang khusyuk dalam shalat atau sedang sujud panjang, atau sedang menghafal al-Qur`an. Di majlis ilmu ia duduk paling depan, konsentrasi penuh mendengarkan kata-kata yang keluar dari Syekh yang sedang mengajar. Dan di rumah, ia selalu sibuk membaca atau menghafal buku di perpustakaan pribadinya, atau mendengar kaset ceramah.

Saya terharu mengenang cerita Hanif, bagaimana ia harus menjual barang-barangnya untuk bisa membeli buku-buku diktat kuliah, untuk transportasi ke kuliah, dan bayar uang sewa rumah.

Satu tahun kemudian, hasil ujian diumumkan dan Hanif ternyata berhasil lulus dengan nilai cumlaude. Ia lulus dengan Husnul Khotimah. Saya berdecak kagum dan turut berbahagia dengan karunia yang ia peroleh. Air mata saya tak terasa mengalir terharu mengenang perjuangannya selama ini. “Laka ma sa`aita ya akhi Hanif, engkau telah meraih apa yang engkau perjuangkan dengan sungguh-sunggu Hanif”, batin saya berbicara.

Tak hanya prestasi. Dalam waktu satu tahun ia telah selesai menghafal al-Qur`an 30 juz, menghafal ratusan hadits, ratusan bait matan ilmiyah, membaca tuntas beberapa buku tafsir, hadits, fiqh, sirah, aqidah, dan lain-lainnya.

* * *

Hanif telah bersungguh-sungguh dengan tekadnya. Ia telah tobat nasuha. Tobat yang mengantarkan Hanif pada perubahan dahsyat dalam hidupnya. Ia sangat yakin apabila azam telah tertancap dengan jujur dalam diri, jalan terang menuju keberhasilan terbuka lebar.

Sepenggal kisah semangat Hanif untuk sukses patut kita ambil pelajaran. Bahwa untuk sukses tidak hanya cukup otak yang cerdas. Tapi yang lebih besar mempengaruhi kesuksesan seseorang adalah semangat yang membaja dan azam yang kuat.

Ya, hanya orang yang selalu bersemangat yang akan sanggup bangkit dari kejatuhan. Hanya orang yang penuh semangat yang akan bisa menaklukan puncak prestasi. Hanya orang yang penuh semangat yang akan mengalahkan segala rintangan dan halangan. Dan hanya orang yang jujur dengan Allah Swt-lah yang senantiasa mendapat pertolongan dari-Nya.

Saya yakin, kita semua bisa mengikuti jalan Hanif atau mengunggulinya dalam kesuksesan, tentunya kalau kita bersungguh-sungguh. Semoga bisa menjadi pemacu semangat kita, terutama diri penulis pribadi, amin.

NB : Kisah ini terinspirasi dari perubahan dahsyat yang telah dilakukan oleh seorang saudaraku fillah. Terima kasih akhi, atas perubahan yang telah engkau lakukan dalam hidupmu, banyak orang telah termotivasi olehmu, dan diantaranya diriku. Semoga semangat dan kesungguhan yang engkau miliki juga mengalir ke dalam diriku, dan aku pun dapat mengikutimu menuju puncak kesuksesan, amin.

Salam dari Kairo

marif_assalman@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar